Jumlah
total calon kandidat pemimpin daerah dari kalangan independen pada
Pemilukada 2015 hanya berjumlah 35 persen dari total keseluruhan calon.
Sedangkan dari kalangan independen,
yang berhasil memenangkan kursi pemilukada hanya 14,4 persennya saja.
Minimnya partisipasi kandidat dari calon independen dinilai karena
memiliki banyak tantangan berat. Hal itu pula yang sepertinya akan
dihadapi para calon independen pada Pemilukada Jogja
2017 yang akan datang.
Hal
tersebut sebagaimana dikatakan oleh Dosen Ilmu Pemerintahan UMY,
Tunjung Sulaksono, M.Si. dalam diskusi public “Restorasi Jogja, dari
Proses Elektoral Pemilukada 2017” di Ruang
Sidang Fakultas Hukum pada Kamis (26/05). Tunjung menjelaskan bahwa
salah satu tantangan utama calon independen adalah masalah administrasi.
Tunjung
menambahkan bahwa berbeda dengan calon dari partai politik, calon
independen harus mandiri dalam urusan administratif. Selain biaya
kampanye yang harus ditanggung secara independen,
sang calon juga harus dapat mendapatkan dukungan dari masyarakat tanpa
dorongan dari partai manapun.
Meski
demikian, hadirnya calon independen dinilai Tunjung sebagai bentuk ril
pengaplikasian dari teori yang hanya didapat dari kelas saja. “Dengan
melakukan deklarasi-deklarasi tertentu,
sang calon dari kalangan independen tentu dapat membuka mata publik.
Namun dari sisi kekurangannya, yang dilakukan oleh sang calon selalu
didasari oleh kesukarelaan atau voluntarism, yang berbeda dengan
mesin-mesin kuat dari partai politik yang sudah memiliki
dukungan masa,” terang Tunjung.
Meski
disertai dengan tantangan berat, hadirnya calon dari kalangan
independen dinilai Wawan Budiyanto selaku Ketua Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Kota Yogyakarta, sebagai strategi baru
di tengah-tengah masyarakat. “Fungsi partai politik kadang-kadang
memang berseberangan dengan keinginan rakyat. Sehingga munculnya calon
dari independen diharapkan dapat membawa strategi yang berbeda,” ujar
Wawan.
Wawan
juga menjelaskan bahwa besarnya dana kampanye yang dikucurkan calon
pemimpin semua harus dilaporkan ke KPU dan KPU membatasi besarnya jumlah
dana yang dikeluarkan. “Tapi meski
dari KPU sudah menetapkan dana dan fasilitasi sedemikian rupa,
terkadang partai politik memiliki instrument politik dan daya jangkau
sendiri. Hal tersebut yang juga menambah tantangan bagi calon dari pihak
independen,” tambah Wawan.
Berbeda
dengan pemaparan kedua pemateri, Garin Nugroho, Calon Walikota jalur
independen JOINT optimis mendapatkan dukungan masyarakat untuk calon
dari kalangan independen. Garin menilai
bahwa pemilu sebagai bagian dari pendidikan, sehingga dengan munculnya
calon dari independen dinilai sebagai bentuk pendidikan demokrasi di
Indonesia.
Kalangan
Independen yang dimaksud oleh Garin pun jenisnya beragam. Calon
independen tidak melulu memperjuangkan suaranya sendiri tanpa dukungan
dari pihak manapun. Garin menyebut
jenis calon independen beragam. “Ada yang mulanya independen kemudian
jadi bergabung dengan partai politik, ada yang tetap independen, ada
yang independen tapi didukung oleh kelompok agama dan lain sebagainya,”
ujarnya.
Garin
juga menyatakan bahwa hadirnya calon independen di Yogyakarta berbeda
dengan kasus munculnya calon-calon independen di kota-kota besar seperti
Jakarta ataupun Surabaya. Munculnya
calon independen dinilai Garin sangat tergantung dengan kotanya. “Bila
di kota-kota besar seperti Jakarta, calon independen akan sangat
dipengaruhi oleh faktor ekonomi, terutama dengan banyaknya
pialang-pialang di Jakarta. Berbeda dengan Jakarta, kota Yogyakarta
tidak banyak pialang-pialang, dan memiliki ekonomi yang masih minus.
Jogja ibarat bendungan besar. Banyak cendekiawan dan budayawan, namun
tangan-tangannya belum sampai ke kalangan bawah,” tutup Garin. (Deansa)
Post a Comment