Aktivis
perempuan sekaligus akademisi politik Dr. Chusnul Mar’iyah menyampaikan
kritiknya terhadap demokrasi
Indonesia yang cenderung masih patriarki. Kritikan ini disampaikan
Chusnul Mar’iyah dalam sesi panel Konvensi Nasional Indonesia
Berkemajuan yang digelar di ruang sidang AR. Fachrudin B Universitas
Muhamamdiyah Yogyakarta (UMY) pada hari Selasa (24/5). Dengan
gayanya yang lugas, mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini
menegaskan bahwa demokrasi tanpa perempuan bukanlah demokrasi yang
sempurna. Ia menyampaikan bahwa semua kebijakan negara berdampak pada
perempuan, sehingga suara perempuan di arena politik
harus terwakilkan. Chusnul Mar’iyah juga mengkritisi
kasus-kasus yang merugikan pihak perempuan saat ini justru semakin
meningkat, namun pemerintah belum bisa banyak berbuat.
Chusnul
Mar’iyah yang juga merupakan anggota Aisyiyah yang terkenal kritis dan
provokatif dalam menyuarakan
hak-hak perempuan, menyayangkan model demokrasi Indonesia yang
menduplikasi model demokrasi liberal barat. Padahal, menurut Chusnul
Mar’iyah konstitusi yang dirumuskan Muhammadiyah sangat signifikan jika
diterapkan, namun hal ini harus didorong dengan keberanian
anggota perserikatan untuk lebih berani berbicara dalam politik.
“Jihad Muhammadiyah adalah jihad politik. Sekarang perserikatan Muhammadiyah harus mulai berani bicara politik
untuk mempengaruhi jalannya demokrasi,” ungkap Chusnul Mar’iyah.
Chusnul Mar’iyah melanjutkan bahwa saat ini
power to do lebih penting dibanding
power order. Artinya kita harus mampu menggunakan kekuasaan untuk
mempengaruhi orang lain, bukan menggunakan kekuasaan untuk menguasai
atau memerintahkan orang lain. Termasuk mempengaruhi untuk melindungi
kedaulatan negara dari kepentingan asing.
Dalam konvensi ini, Chusnul Mar’iyah mengusulkan untuk bermufakat membentuk
konvensi konstitusi untuk melindungi bangsa.
“Hasil konvensi ini diluar dari hasil konstitusi MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) yang berisi gabungan
ide-ide dari suara perempuan, pemuda, dan para akademisi,” tutur Chusnul Mar’iyah.
Chusnul Mar’iyah juga mengusulkan demokrasi yang seharusnya digunakan Indonesia sebaiknya adalah
demokrasi
theistic yang dirumuskan dari nilai-nilai agama bukan demokrasi
sekuler. Demokrasi semestinya juga mengaktualisasi konsep musyawarah
dalam politik.
“MPR terbentuk karena sumbangan pemikiran islam dalam merumuskan konstitusi bangsa. Harapannya hasil konvensi
ini dapat diterima dan dapat diaplikasikan oleh pemangku kebijakan,” tutup
Chusnul Mar’iyah dalam materinya.
Post a Comment