Alat Inkubator Alam buatan Mahasiswa UMY |
Tersedianya inkubator sangat diperlukan, terutama
untuk membantu perawatan pada bayi prematur. Namun, pada daerah 3T
(Tertinggal, Terluar, dan Terdepan), ketersediaan inkubator elektrik
canggih menjadi kendala tersendiri. Oleh karena itulah,
lima mahasiswa UMY menciptakan inovasi Inkubator Alam untuk menangani
kendala tersebut.
Kelima mahasiswa yang membuat inovasi Inkubator
Alam tersebut yakni Ferdy Winanta Eka Saputra (Teknik Mesin angkatan
2013), Yusuf Susanto (Pendidikan Dokter 2013), Angga Ardinista (Teknik
Mesin 2013), Dwi Verdi Firmansyah (Teknik Elektro
2013), dan Henri Yunanto Dwi Chahyo (Teknik Mesin 2013). Kelima
mahasiswa UMY tersebut membuat inovasi inkubator dalam rangka Program
Kreativitas Mahasiswa (PKM) 2016 bidang Karsa Cipta, dengan judul
program "INKUBATOR ALAM Sebagai Solusi Penyediaan Inkubator
pada Daerah 3T (Tertinggal, Terluar, dan Terdepan).
Menurut Angga Ardinista, salah seorang anggota tim
PKM-KC INKUBATOR Alam, saat ditemui di Biro Humas UMY pada Selasa (7/6)
menjelaskan alasan mereka membuat inovasi inkubator untuk bayi prematur
tersebut dikarenakan kelahiran bayi prematur
masih menjadi penyebab utama meninggalnya bayi yang baru lahir di bawah
usia 4 minggu. Selain itu, kelahiran bayi prematur juga menjadi
penyebab kedua setelah
pneumonia (radang paru-paru) anak di bawah 5 tahun. "Selain itu,
berdasarkan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007,
Angka Kelahiran Bayi (AKB) di Indonesia adalah 34/1000 Kelahiran Hidup.
Dalam hal ini persoalan fasilitas yang mendukung
untuk pemenuhan kebutuhan bayi prematur menjadi hal yang sangat
penting, seperti kebutuhan akan peralatan inkubator," jelasnya.
Namun, lanjut Angga lagi, berdasarkan data dari
Kemeterian ESDM RI, masih ada beberapa daerah di Indonesia yang hingga
saat ini belum terjangkau pasokan listriknya dengan baik sebagai sumber
energi utama peralatan medis. Beberapa daerah
tersebut seperti di kawasan Sumatera-Aceh, Sumatera Barat-Riau, Bangka,
Sumarera bagian selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, serta Maluku.
"Dan daeran-daerah yang berada di kawasan-kawasan
itu, yang terkena krisis listrik rata-rata termasuk daerah 3 T.
Sehingga hal tersebut tentunya menjadi kesulitan tersendiri bagi rumah
sakit jika ingin menyediakan inkubator untuk bayi prematur yang
menggunakan tenaga listrik sebagai energi utamanya. Tak hanya
itu, harga dari sebuah inkubator yang dijual di pasaran juga relatif
mahal, sehingga dapat menambah beban pengeluaran rumah sakit di daerah
terpencil," papar Angga lagi.
Karena itulah, dirinya bersama keempat temannya
memutuskan untuk membuat inovasi inkubator, berupa Inkubator Alam.
Secara fisik, Inkubator Alam yang diciptakan oleh Angga beserta keempat
temannya juga tidak ada bedanya dengan inkubator
bayi prematur yang biasa ada di rumah sakit - rumah sakit. Hal yang
membedakan antara Inkubator Alam dengan inkubator pada umumnya, menurut
Angga adalah terletak pada sumber energi yang dimiliki oleh keduanya.
"Inkubator Alam sendiri merupakan alat yang memanfaatkan
energi matahari sebagai bahan bakarnya. Dalam pembuatan inkubator alam
ini kami menggunakan
solar water heater sebagai kolektor panasnya. Solar water heater tersebut
kami peroleh dengan mengumpulkan energi panas matahari, yang kemudian
digunakan untuk menaikkan temperatur ruangan Inkubator Alam yang
disesuaikan dengan temperatur bayi,"
ujar Angga.
Angga juga mengatakan bahwa
berdasarkan survei yang mereka lakukan di beberapa Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah, inkubator yang ada saat ini, biasanya sudah diatur pada
temperatur tertentu dan tidak dapat diubah. Sehingga ketika
pengguna membutuhkan ruangan atau box dengan temperatur lain, maka
pengguna harus mengganti lampu atau elemen pemanas yang digunakan
sebelumnya dengan elemen pemanas lainnya.
"Untuk itulah, kami menawarkan untuk membuat
Inkubator Alam ini sebagai solusi dan membantu permasalahan yang
dihadapi di daerah-daerah 3 T. Inkubator Alam ini dapat membantu
pemenuhan kebutuhan bayi prematur di daerah terpencil yang kesulitan
pasokan sumber listrik. Selain itu, Inkubator Alam yang kami buat ini
juga memiliki beberapa keunggulan, selain energi yang digunakan adalah
Energi Terbarukan yakni energi matahari tanpa menggunakan listrik PLN,
keunggulan lainnya dari Inkubator Alam ini yakni
mudah untuk dibuat, dilengkapi dengan Air Flow Humidity, Controll Temperatur menggunakan
Microcontroller, bisa menampilkan suhu di dalam inkubator menggunakan LED,
dilengkapi dengan Alarm Indikator Error dan mode kontrol udara. Selain
itu, harga pembuatan Inkubator Alam ini juga relatif terjangkau
masyarakat dan ramah lingkungan karena
menggunakan energi terbarukan. Dan jika diproduksi massal harganya
tentu akan lebih murah," ungkap Agga lagi.
Adapun prinsip kerja dari alat Inkubator Alam ini yakni memanfaatkan
solar water heater yang telah dimodifikasi sebagai kolektor
energi panas. Energi panas yang telah terakumulasi kemudian dialirkan
melalui pipa-pipa tembaga yang terhubung dengan inkubator alam. "Panas
dari kolektor kemudian berpindah melalui pipa tembaga
yang dialiri air ke inkubator, panas inilah yang kemudian akan
menghangatkan ruang inkubator. Inkubator alam ini juga dilengkapi dengan
sensor temperatur dan sensor kelembaban yang berguna untuk mengetahui
temperatur dan kelembaban di dalam inkubator, jika
temperatur naik beberapa derajat di atas temperatur bayi, maka otomatis
katup pada pipa akan menutup, serta temperatur dalam inkubator akan
stabil," jelas Angga lagi.
Angga juga menambahkan bahwa sekalipun saat ini ia bersama timnya baru membuat
prototype dari Inkubator Alam tersebut, namun prototype tersebut sudah menggunakan bahan utama dari
stainless steel dan fiber. Selain itu, inkubator alam ini
juga menggunakan komponen peralatan pendukung lainnya seperti solar
collector, sensor suhu tipe LM35DZ yang berfungsi untuk mendeteksi suhu
yang naik di dalam ruangan inkubator bayi, Sensor
DT sense humidity tipe HH10D berfungsi sebagai pengukur kelembaban di
dalam ruangan inkubator bayi, dan microcontroller arduino nano. "Solar
controller tersebut berfungsi sebagai alat untuk mengumpulkan energi
panas matahari yang kemudian digunakan untuk memanaskan
ruang inkubator. Sementara microcontroller-nya berfungsi sebagai alat
yang digunakan untuk mengatur suhu dan kelembaban di dalam inkubator,
selain itu juga untuk mengatur flow rate dari air panas yang dialirkan
melalui pipa-pipa heat exchanger, sehingga temperatur
dan kelembaban ruang inkubator dapat terjaga sesuai dengan suhu tubuh
bayi," imbuhnya.
Dengan rancangan pembuatan Inkubator Alam ini,
Angga berharap dapat membantu rumah sakit-rumah sakit khususnya yang
berada di daerah 3T. Apalagi Indonesia merupakan negara tropis, yang
pasokan sinar mataharinya baik untuk penggunaan alat
yang berbasis pada tenaga surya.
Post a Comment