Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) memang sudah dimulai
sejak Desember 2015. Namun masih banyak masyarakat yang belum merasakan dampak
signifikan terhadap perubahan yang ada. Meski demikian, masyarakat harus
senantiasa mendukung produk hasil buatan negeri sendiri untuk dapat bersaing
dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Hal ini dikemukakan oleh Ahmad
Zabadi, Presiden Direktur SMESCO (lembaga layanan pemasaran, koperasi dan UKM)
Indonesia di Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Sabtu (27/08).
Dalam materi yang disampaikan untuk muktamirin Nasyiatul Aisyiyah tersebut,
Ahmad juga menyebutkan bahwa cinta tanah air merupakan bagian dari iman dan hal
tersebut telah disebutkan di dalam hadits Nabi SAW. Ahmad memaparkan bahwa
Indonesia memang memiliki banyak pelaku usaha. Tetapi bila dipetakan, 98.7%
dari total keseluruhan merupakan usaha mikro. Sedangkan usaha skala makro
berada pada presentase 0.01%. Para pelaku usaha mikro tersebut, disebut Ahmad,
kebanyakan merupakan lulusan setingkat Sekolah Dasar (SD) atau SMP saja.
Dan kontribusi usaha mikro terhadap PBB (Pajak Bumi Bangunan), hanya 57%,
sedangkan kontribusi usaha makro terhadap PBB 43%."Realita ini
lalu dihadapkan dengan pasar bebas MEA. Pengusaha kita yang lulusan SD dan
SMP ini harus head to head dengan pelaku usaha asing yang lulusannya sudah
tinggi. Ibaratkan petinju, sama-sama petinju kuat namun yang ditandingkan
adalah petinju kelas ringan melawan petinju kelas berat. Belum lagi pelaku
usaha mikro tadi saat memasarkan produk mereka ke negara lain, harus lolos
standarisasi yang diberlakukan negara tersebut," ujar Ahmad. Sedangkan
premis masyarakat Indonesia saat ini, disebut Ahmad, masih banyak yang
mencintai produk luar negeri dibandingkan produk UKM lokal. Menurutnya
masyarakat masih banyak yang merasa segan dengan kualitas produk yang
ditawarkan oleh pelaku usaha dalam negeri, dibandingkan dengan produk bermerek
milik asing yang sudah jelas kualitasnya. "Tindakan seperti itu sama
saja kita mendzolimi UKM. Dan sama saja kita sedang membantu pelaku usaha
asing, dengan kemudian membiarkan pelaku usaha dalam negeri berjuang sendiri.
Kita harus bisa meniru orang Korea Selatan, yang pada awal tahun 2000 produk
Samsung masih kalah kualitas dengan produk-produk asal barat. Namun pada saat
itu juga, masyarakat Korea Selatan tidak ada yang tidak menggunakan produk
Samsung. Sehingga berawal dari itu, produk samsung bisa terkapitalisasi dan masuk
ke pasar internasional," ungkap Ahmad. Sementara itu, pada forum yang
sama, Rektor UMY, Prof. Bambang Cipto, M.A. menyampaikan kepada muktamirin NA
terkait skema yang ada dibalik isu "Women's Empowerement" (WE).
Isu WE dijelaskan Prof. Bambang sebagai ajakan kepada para perempuan untuk
dapat lebih aktif bekerja, berkecimpung di dunia bisnis, dan di luar rumah. Isu
WE tersebut juga disebut sebagai upaya dari dunia barat untuk menggulingkan
perekonomian negara-negara berkembang seperti Indonesia. "Ada rasa takut
dari negara barat melihat jumlah penduduk negara berkembang yang sangat tinggi.
Jika penduduknya tinggi, nanti ekonomi bisa didominasi oleh negara berkembang.
Jadi salah satu cara untuk membuat ekonomi negara berkembang tidak tumbuh pesat,
adalah dengan menggerakkan para perempuannya untuk semakin keluar rumah. Dengan
begitu, para perempuan menjadi kurang tertarik untuk berkeluarga, atau
sederhananya menunda usia perkawinan," jelas Prof. Bambang. Meskipun
demikian, Prof. Bambang masih tetap setuju untuk terus meningkatkan skill para
perempuan dan akses sumberdaya juga harus tetap ditingkatkan. "Yang
penting kita tahu bahwa ada ide lain dibalik Women's Empowerement
tersebut," tegas Prof. Bambang.
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post a Comment