Perubahan sistem politik di
Indonesia dari Otokrasi menuju Demokrasi telah mengubah cara Indonesia
melakukan pendekatan dalam resolusi konflik. Resolusi konflik dalam sistem
otokrasi yang semula dilakukan melalui operasi militer bergeser menuju resolusi
konflik yang damai secara bertahap, bersamaan dengan Indonesia yang berkembang
melalui transisi demokrasi. Pernyataan ini disampaikan oleh Letnan Jendral
(Purn) Agus Widjojo, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Republik
Indonesia. Ia hadir sebagai pembicara pada sesi ke-10 Mahathir Global Peace
School (MGPS) ke-5 di Ruang Sidang Utama Ar. Fachrudin A lt.5 pada Sabtu
(3/12). Agus membandingkan peristiwa sejarah konflik-konflik yang terjadi di
Indonesia. “Dalam konflik tragedi 1965, penyelesaian konflik dilakukan dengan
operasi stabilitas militer, diikuti dengan ekseskusi dan penahanan kepada eks
anggota PKI. Hal ini menimbulkan trauma pada masyarakat. Berbeda dengan konflik
yang terjadi pasca reformasi, Konflik Poso dan Aceh misalnya yang selesai
dengan pendekatan perundingan dan negosiasi. Konflik Poso menghasilkan
Deklarasi Malino, sedangkan konflik Aceh rampung setelah dilakukan MoU antara
pihak Indonesia dengan pihak GAM (Gerakan Aceh Merdeka),”paparnya. Agus menilai
pihak militer yang dipilih sebagai instrumen utama dalam resolusi konflik tidak
lepas dari fungsi ganda TNI kala itu. “Resolusi Konflik dalam sistem otokrasi
fokus pada pihak militer sebagai instrumen utama. Peran dari militer didukung
oleh fungsi doktrin ganda mereka. Doktrin ini membentuk peran militer tidak
hanya berfungsi sebagai basis pertahanan dan keamanan, tetapi juga masuk dalam
urusan sosio-politik dan masyarakat Internal,”nilainya. Konflik tidak lepas
dari adanya pergolakan, aksi yang merusak dan kekerasan fisik yang melibatkan
dua pihak. Untuk mengubah kekerasan menjadi perdamaian, Agus menilai dialog dan
negosiasi digunakan untuk membangun jembatan yang menghubungkan pihak-pihak
yang bertentangan yang terlibat dalam konflik. “Semakin Indonesia menjadi
demokratis, semakin damai pula resolusi konflik yang dipakai. Resolusi Konflik
damai berfokus pada dialog dan negosiasi dan tidak melibatkan kekuatan militer
lagi,”imbuhnya. Dalam penutupnya, Ia menambahkan sebenarnya Indonesia tidak
pernah menghadapi konflik antar agama. Jika ada konflik yang menyerupai konflik
antar agama, hal tersebut sebenarnya disebabkan oleh aspek non-agama seperti
politik atau ekonomi. “Meski begitu dalam masyarakat yang multi etnik dan multi
religi, konflik dengan penyebab yang bermacam-macam sebab dapat dengan mudah
disebarkan dan diidentikkan dengan konflik antar etnic dan konflik antar agama.
Hal ini merupakan tantangan bagi Indonesia di tengah cepatnya arus informasi,
teknologi, dan media sosial,”tambahnya.
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post a Comment