Pemandangan
berbeda ditemui pada wisuda periode 2 universitas muhammadiyah yogyakarta
(umy), sabtu (11/2). Ada seorang pemuda lengkap dengan pakaian toganya tengah
berjualan gorengan di samping sportorium kampus terpadu umy. Ia dengan semangat
membagikan gorengan kepada orang-orang di sekitarnya, di tengah keramaian
mahasiswa dan wali mahasiswa yang datang mengikuti wisuda. Satpam, tukang
parkir, orang tua/wali mahasiswa, datang berkerumum untuk mencicipi
gorengannya. Tukang gorengan itu bernama asnawi, salah satu wisudawan yang
juga mengikuti wisuda saat itu. Ia tengah memenuhi nazarnya untuk memakai
toga sambil berjualan gorengan di hari kelulusannya. “saya pernah bernazar
dulu, pokoknya kalau saya lulus saya akan pakai toga dengan membawa dagangan
saya. Saya ingin menunjukkan bahwa penjual gorengan juga bisa menyelesaikan
kuliah, saya membayar kuliah dan membiayai hidup saya juga pakai ini,”ujarnya
saat diwawancarai pada selasa (14/2). Di tengah gaya hidup mahasiswa yang serba
mewah, masih ada mahasiswa yang mampu berjuang membayar biaya pendidikan dan
membiayai hidupnya sendiri. Bahkan ia juga tak terpengaruh dengan gaya hidup
mahasiswa masa kini. Asnawi, mahasiswa asal bangka ini berhasil meraih gelar
sarjana ekonomi dan meraih ipk 3.39 lewat perjuangannya menjajakan gorengan.
Dia mengaku berjualan gorengan tidak mengganggu perkuliahannya. Tugas-tugas
kuliah tetap dikerjakan di tengah kesibukannya berdagang. “tugas tetap
dikerjakan, namun kalau harus meninggalkan berjualan ya saya tinggalkan,”ujar
mahasiswa yang kerab disapa awi ini. Awi sudah mulai berjualan gorengan sejak
tahun 2006. Kala itu, dia harus menanggalkan keinginannya untuk melanjutkan
sekolah ke sma. Setelah lulus smp, awi harus ikut kedua orang tuanya merantau
berjualan gorengan. Selama empat tahun awi ikut orang tuanya merantau berjualan
gorengan, berpindah-pindah dan jauh dari kampung. Selama empat tahun itu juga,
dia menahan keinginannya untuk melanjutkan sekolah. Tak mudah memang bagi
seorang anak yang pernah bercita-cita untuk menjadi presiden, namun rupanya tak
bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Ia harus rela memendam
sejenak cita-citanya. Demi mendapatkan kesempatan dan waktu yang tepat untuk
melanjutkan sekolah. Hingga akhirnya pada tahun 2009 kesempatan itu datang. Awi
bisa melanjutkan sekolahnya ke tingkat sma, walau umur mungkin sudah bukan
selayaknya baru menduduki bangku sma tapi tetap ia syukuri dan jalani. Bahkan
pada tahun 2010, saat kenaikan kelas xi sma, ia dipercaya sekolahnya untuk
mengikuti pogram pertukaran pelajar ke yogyakarta. Dari sanalah kemudian
keberuntungan pendidikannya mulai terlihat. “saya mulai bercita-cita untuk
kuliah di yogyakarta. Waktu itu saya mengikuti program pertukaran pelajar
dan ditempatkan di smkn 7 yogyakarta. Mulai dari situ saya menabung untuk
persiapan awal-awal kuliah,”tandasnya. Keinginannya untuk melanjutkan
pendidikan tinggi di yogyakarta, rupanya disambut baik oleh orang-orang yang
sangat disayangnya. Kedua orang tuanya dan dua saudaranya. Dari orang tuanya
pula ia mendapat sifat pekerja keras dan pantang menyerah. Asnawi merupakan
anak kedua dari tiga bersaudara. Kedua saudara perempuannya juga berjualan
untuk menghidupi dirinya masing-masing. Kakak perempuannya mempunyai usaha
jahit, dan adik perempuannya saat ini juga berjualan baju dan kaos. Sementara
orang tuanya tetap menjalankan usaha gorengan. Sebagai orang yang hidup di
tengah-tengah keluarga yang sangat berkecukupan, asnawi mempunyai prinsip yang
kuat. “selama saya masih bisa membiayai hidup sendiri, saya nggak mau dikatakan
miskin. Saya masih mampu bekerja dan menghasilkan karya. Beberapa kali saya
diminta untuk ikut program beasiswa dengan mengajukan surat keterangan tidak
mampu, namun bagi saya, saya masih mampu membiayai hidup saya. Jadi lebih baik
beasiswa tersebut diserahkan pada mereka saja yang lebih tidak beruntung dari
saya. Bagi saya, mereka lebih berhak." prinsip inilah yang ia pegang
hingga akhirnya mampu membawanya menjadi seorang sarjana. Untuk menjalani
kuliah dan berjualan, awi pun mengatur waktunya dengan detail. Setiap hari ia
harus bangun pukul 04.00 pagi, kemudian melanjutkan shalat subuh. Usai shalat
subuh, ia mulai menyiapkan bahan untuk berjualan. Awi menuju ke pasar membeli
bahan-bahan untuk jualan dan meracik bumbunya. Pada pukul 06.45 ia sudah harus
menyelesaikan pekerjaannya dan menyiapkan dagangannya sebelum berangkat kuliah.
Kemudian sepulang kuliah pada pukul 12.30, dia mulai membuat adonan lalu
menjajakannya dengan berkeliling kampung. Ia menghabiskan waktu berjualan di
sekitar kampus hingga pukul 18.00. Kemudian ia melanjutkan aktivitasnya dengan
mengikuti kuliah malam, jika tidak ada kuliah waktunya ia gunakan untuk belajar
atau mengerjakan tugas. Tak hanya itu, sebelum tidur pun awi sudah terbiasa
menyempatkan diri untuk mengecek peralatan dagangannya. Awi menjalani
aktivitasnya sebagai seorang mahasiswa sekaligus penjual gorengan ini setiap
hari dan meliburkan diri di hari minggu untuk refreshing dan beristirahat.
Walaupun menikmati berkuliah sambil berjualan, awi mengakui sempat tidak kuat
dan ingin menyerah. Karena ada kalanya dagangannya tidak laku-laku, dan
menyebabkannya hampir putus asa. “semester 3 saya sempat ingin menyerah. Waktu
itu saya jualan belum begitu berhasil. Saya dulu belum jualan gorengan, tapi
jualan pempek dan mie ayam. Saya dinasihati orang tua kalau usaha saya seperti
itu terus tidak mendapat apa-apa. Orang tua juga membiayai kuliah untuk saudara
yang lain. Sementara masih ada kakek juga. Jadi uang harus dibagi-bagi untuk
membiayai hidup,”jelasnya. Setelah beralih usaha dengan menjual gorengan,
keuntungan yang didapatkan awi setiap harinya bisa dikatakan cukup besar.
Setiap hari rata-rata ia mendapatkan keuntungan dari berjualan gorengan sebesar
300 ribu rupiah. Dari hasil keuntungannya itulah awi bisa membiayai hidup dan
pendidikannya sendiri, tanpa memberatkan orang tuanya sedikit pun. Hinaan
dan cacian yang dilontarkan orang-orang sekitar juga pernah dirasakan oleh
asnawi. Namun, keinginannya menempuh pendidikan setinggi mungkin mengalahkan
segala cacian dan hinaan. Semua itu ia lakukan dengan pembuktian. “saya pernah
dihina, saya ingat sekali perkataan salah satu tetangga saya, "kamu
keahliannya hanya buat gorengan saja, nggak mungkin kamu bisa menyelesaikan
pendidikan tinggi." waktu itu saya belum tau. Jadi saya ingin membuktikan
pada orang-orang yang meremehkan saya, bahwa saya juga bisa menyelesaikan
pendidikan tinggi. Bahkan dulu saat saya masuk sma juga banyak yang meremehkan
saya karena usia saya sudah 19 tahun,”ujarnya sambil berkaca-kaca. Selepas
meraih gelar sarjana, awi pun tetap tidak patah arang lantas menyudahi
perjuangannya. Cita-citanya masih tinggi. Ia ingin tetap melanjutkan
pendidikannya hingga jenjang s2 bahkan melanjutkan s2 di luar negeri. Selain
itu, awi juga ingin menjadi pengusaha dan membuka perusahaan sendiri. “saat ini
saya ingin pulang kampung sambil mencari pekerjaan di samping berjualan
gorengan lagi dengan orang tua. Saya juga ingin mengejar beasiswa s2 ke luar
negeri. Untuk soal cita-cita profesi, saya lebih berminat di wirausaha, walau
dulu waktu kecil ya cita-citanya jadi presiden,”harapnya. (bagas)
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Post a Comment